Keharusan Vaksin dan Hak atas Kesehatan

 


Jakarta - 

Optimasi penanganan Corona Virus Disease-19 (Covid-19) oleh pemerintah telah masuk pada tahap kulminasi yaitu vaksinasi secara menyeluruh sebagai bagian dari penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan. Hal demikian bahkan telah ditegaskan oleh Presiden Jokowi, bahwa vaksin yang akan diberikan kepada masyarakat; diberikan secara gratis setelah terdapat dialektika yang meruncing mengenai vaksin, yang merupakan bagian dari hak atas kesehatan yang telah dijamin oleh konstitusi (UUD 1945) dan wajib dipenuhi oleh negara tanpa harus membayar.

Namun realitasnya tak sedikit masyarakat yang menolak vaksin dengan dalih, vaksin (Sinovac) Covid-19 terlalu dini atau terburu-buru untuk digunakan karena legitimasinya dengan predikat Izin Penggunaan Darurat (Emergency Use Authorization) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Penolakan ini bahkan disuarakan oleh anggota DPR Komisi IX Ribka Tjiptaning dalam Rapat Kerja bersama Menteri Kesehatan yang berucap bahwa Bio Farma sebagai lembaga yang menguji klinis vaksin Covid-19 belum melakukan tahap klinis ketiga, sehingga kualitasnya diragukan.

Penolakan atas vaksin tersebut secara instrumen yuridis dapat berujung sebuah sanksi karena tidak mematuhi vaksinasi sebagai bagian dari penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU KK) dalam rasio legis Pasal 15 ayat (2) jo Pasal 93 menghasilkan makna bahwa setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan (vaksinasi bagian dari Kekarantinaan Kesehatan, Lihat Pasal 15 ayat (2)... dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah).

Namun fragmentasi dari beleid yang berisi sanksi karena menolak untuk melakukan vaksinasi secara horizontal dipresuposisikan berhadap-hadapan dengan hak atas kesehatan yang telah dijamin di dalam konstitusi pada Pasal 28H ayat (1) yang berbunyi setiap orang berhak...memperoleh pelayanan kesehatan. Sehingga, kewajiban vaksinasi mendapat perhatian yang khusus dalam diskursus yang tajam di masyarakat terutama yang menolak vaksinasi dengan dalih utama hak atas kesehatan masyarakat, karena vaksin tersebut masih terlalu dini untuk digunakan.

Hak atas Kesehatan

Hak atas kesehatan merupakan generasi hak asasi manusia kedua yang memiliki esensi bahwa negara melalui pemerintah wajib turut serta dalam pengembangan hak sosial berupa pemenuhan atas hak kesehatan masyarakat (Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya). Hak atas kesehatan tersebut dituangkan lebih lanjut pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dalam Pasal 5 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak secara mandiri bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

Ketentuan a quo mempertunjukkan bahwa pelayanan kesehatan pada hakikatnya memanglah hak privat yang dimiliki seseorang guna memilih pelayanan kesehatan. Namun secara leksikal, kontekstualisasi hak atas kesehatan yang bersifat privat tersebut bertransformasi menjadi hak publik secara gradual tatkala hak atas kesehatan menjadi domain pemerintah karena adanya Darurat Kesehatan Masyarakat sehingga membutuhkan adanya mekanisme Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. Hal ini dikarenakan Darurat Kesehatan Masyarakat merupakan peristiwa penularan penyakit yang menyangkut hak atas kesehatan masyarakat luas dan menjadi tanggung jawab negara terutama pemerintah guna mencegah penularan penyakit tersebut.

Penyebaran Covid-19 yang mssif dan telah ditetapkan sebagai Darurat Kesehatan Masyarakat dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2020, merupakan gerbang utama yang menempatkan hak atas kesehatan dalam penanganan Covid-19 menjadi domain hak pubik. Penolakan atas vaksinasi Covid-19 dengan menyatakan bahwa hak atas kesehatan masyarakat merupakan hak privat tidak memiliki legitimasinya karena ketika terjadi Darurat Kesehatan Masyarakat berlaku hak publik atas kesehatan yang menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mencegah penularan Covid-19 yang lebih masif.

Sehingga, penolakan atas vaksinasi sebagai bagian dari mekanisme Kekarantinaan Kesehatan mencederai hak publik untuk mendapatkan hak atas kesehatan, karena pencegahan penularan penyakit tidak menyeluruh karena adanya penolakan atas vaksinasi dan berpotensi menimbulkan penularan kembali.

Dalam konsep yang lebih rigid, UU Kesehatan yang mengatur hak atas kesehatan yang bersifat privat, pada hakikatnya kendati tetap sah, namun keberlakuannya tidaklah dapat diterapkan. Hal ini mengacu pada konsep norma hukum statis, yaitu ketika terdapat aturan khusus yang mengatur suatu kondisi tertentu (UU Kekarantinaan Kesehatan), maka ketentuan umum (UU Kesehatan) tersebut tidak dapat diberlakukan atau termuat dalam terma lex specialis derogate legi generali (UU yang khusus mengenyampingkan UU yang umum).

Dalam kondisi Covid-19 sebagai bentuk Darurat Kesehatan Masyarakat (kondisi tertentu), secara instrumen legis-formal maka yang berlaku adalah UU Kekarantinaan Kesehatan dalam hal ini hak atas kesehatan yang bersifat publik in casu penerimaan terhadap vaksinasi.

Sanksi sebagai instrumen paksaan adalah konsekuensi rasional yang memiliki posisi untuk menunjang hak publik atas kesehatan guna mencegah penularan penyakit Covid-19 yang semakin masif dengan mengharuskan untuk setiap orang dilakukan vaksinasi. Oleh karenanya, vaksinasi dalam kerangka hak atas kesehatan yang tercantum di dalam UUD 1945 adalah keharusan dan memiliki relevansi dan legitimasi konstitusional untuk dilakukan kepada seluruh masyarakat Indonesia.

Praktik Vaksinasi

Kendati hak atas kesehatan adalah hak asasi generasi kedua, namun eksistensinya dapat dikatakan sebagai jus cogens (hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun), karena ketiadaan hak atas kesehatan justru dapat berakibat dilanggarnya hak untuk hidup yaitu kematian sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28I ayat 1 UUD 1945).

Vaksin Covid-19 yang berstatus Izin Penggunaan Darurat (Emergency Use Authorization) dan belum diujinya pada tahap klinis yang ketiga oleh Bio Farma menjadi problematika dalam pemenuhan hak atas kesehatan publik terutama dalam penegakan sanksi atas penolakan vaksinasi. Negara melalui pemerintah atas nama hak atas kesehatan publik tidak memiliki hak untuk menerapkan sanksi kepada masyarakat yang menolak vaksin, jika hak atas kesehatan publik belum terpenuhi secara mutlak yaitu kepastian hukum dalam kualitas vaksinasi.

Sehingga, pemerintah tidak dapat mewajibkan vaksinasi dengan instrument paksaan berupa sanksi tatkala hak atas kesehatan publik berupa kualitas vaksin yang masih memiliki ketidakpastian hukum berupa terlalu dininya penggunaan dan belum adanya tahap ketiga uji klinis dari lembaga yang berwenang in casu Bio Farma.

Elemen paksaan berupa sanksi hanya dapat berlaku ketika terjadinya perilaku yang tidak sesuai dengan norma atau melanggar hak yang telah ditentukan dalam norma hukum. Namun, validitas hak yang berada dalam norma hukum harus dibentuk berdasarkan ketentuan konstitusional atau hukum di atasnya (Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa'at). Dalam kaitan ini, sanksi akan berlaku ketika hak yang ditentukan dalam norma hukum berupa vaksinasi sebagai bagian dari Kekarantinaan Kesehatan dilanggar.

Namun ketentuan vaksinasi harus memiliki validitas yang pasti dan bersumber dari ketentuan konstitusional atau hukum di atasnya in casu berupa kepastian hukum yang adil, yaitu kualitas vaksin yang pasti dan tidak terburu-buru atau terlalu dini. Sehingga keadaan penolakan vaksin secara umum adalah ketentuan yang tidak sesuai dengan hak atas kesehatan, namun kualitas vaksin yang belum teruji merupakan beleid yang juga tidak sesuai dengan hak publik atas kesehatan masyarakat.

Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5333213/keharusan-vaksin-dan-hak-atas-kesehatan?_ga=2.172488547.157089458.1610512147-1276086109.1610512147

Share:

Ketika Tari Poco-poco Berdendang di Korea Utara

 


Pyongyang - 

Tari Poco-poco khas Timur Indonesia selalu mengajak siapa pun berdendang. Tarian itu juga digunakan untuk promosi Indonesia di Pyongyang, Korea Utara.

Dilihat detikTravel dari situs resmi Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Senin (11/1/2021), KBRI Pyongyang baru saja selenggarakan pertemuan bersama kalangan diplomatik asing dan organisasi internasional di Wisma Duta KBRI Pyongyang, Jumat pekan lalu (08/01)

Kegiatan tersebut dihadiri oleh perwakilan dari Kedutaan Besar Romania, Laos, Vietnam, Iran, Pakistan dan Rusia, serta Country Coordinator World Food Program dan The United Nations Population Fund. Selain untuk mempromosikan daya tarik wisata Indonesia, kegiatan ini juga diselenggarakan untuk menyambut tahun 2021.


Acara dibuka dengan tarian tradisional medley asal Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Betawi, Bali, Sulawesi Utara, Maluku dan Papua dan dilanjutkan dengan tarian interaktif Poco-Poco yang diikuti para tamu asing tersebut dengan suka cita.

"Kebersamaan, kerja sama dan persahabatan teman-teman semua telah menjadi semangat dan dorongan bagi kami sehingga kami dapat melaksanakan tugas dan misi kami pada tahun 2020 dengan baik," ujar Duta Besar Indonesia untuk Korea Utara, Berlian Napitupulu.

Dubes Berlian juga mempromosikan beberapa destinasi pariwisata, misalnya tentang kemegahan dan keunikan Danau Toba, pulau Samosir dan sekitarnya, keindahan pantai dan ombak besar di Nias untuk berselancar, kemegahan candi Borobudur dan Prambanan, pusat rekreasi Batu Malang dan keindahan api biru kawah Ijen Banyuwangi, keindahan pulau Dewata Bali dan lain-lain.

Acara dibuka dengan tarian tradisional medley asal Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Betawi, Bali, Sulawesi Utara, Maluku dan Papua dan dilanjutkan dengan tarian interaktif Poco-Poco yang diikuti para tamu asing tersebut dengan suka cita.

"Kebersamaan, kerja sama dan persahabatan teman-teman semua telah menjadi semangat dan dorongan bagi kami sehingga kami dapat melaksanakan tugas dan misi kami pada tahun 2020 dengan baik," ujar Duta Besar Indonesia untuk Korea Utara, Berlian Napitupulu.

Dubes Berlian juga mempromosikan beberapa destinasi pariwisata, misalnya tentang kemegahan dan keunikan Danau Toba, pulau Samosir dan sekitarnya, keindahan pantai dan ombak besar di Nias untuk berselancar, kemegahan candi Borobudur dan Prambanan, pusat rekreasi Batu Malang dan keindahan api biru kawah Ijen Banyuwangi, keindahan pulau Dewata Bali dan lain-lain.

Sumber : https://travel.detik.com/travel-news/d-5333042/ketika-tari-poco-poco-berdendang-di-korea-utara?_ga=2.166532350.157089458.1610512147-1276086109.1610512147

Share:

Dianggap Tak Becus Tangani Banjir, Ini Pembelaan Pemkab Lamongan

 


Lamongan - 

Warga dan mahasiswa menganggap Pemkab Lamongan tak becus tangani banjir. Mereka berunjuk rasa dan menyegel Pemkab Lamongan.

Tetapi Pemkab Lamongan merasa sudah secara serius dan maksimal mengatasi banjir yang terjadi di kawasan Bengawan Njero. Berbagai upaya telah dilakukan agar genangan air dapat segera surut. Salah satunya adalah membuka pintu air di Wangen

Menurut Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Pemkab Lamongan Mohammad Nalikan, untuk membantu agar banjir bisa segera surut, 4 pintu air di Wangen telah dibuka secara maksimal.

"Sebelumnya, 4 pintu ini sempat terkendala masalah teknis sehingga tidak semuanya dapat dibuka. Kini, semua dibuka sehingga dapat mempercepat pembuangan air ke laut," kata Mohammad Nalikan kepada wartawan, Kamis (14/1/2021).

Upaya lainnya, menurut Nalikan, adalah perbaikan infrastruktur Bengawan Njero, pengadaan pompa banjir, hingga penggunaan backhoe untuk membersihkan tanaman eceng gondok, meski pembersihan eceng gondok baru dilakukan saat banjir sudah melanda.

Selain itu, juga telah disiapkan 19 pompa banjir dengan rincian 3 unit pompa dengan kapasitas 500 liter per detik dan 2 unit pompa dengan kapasitas 125 liter per detik di UPT Babat, 2 unit pompa kapasitas 1.000 liter per detik, 8 pompa kapasitas 500 liter per detik, dan 2 unit pompa kapasitas 250 liter per detik du UPT Kuro ditambah 2 unit pompa dengan kapasitas 250 liter per detik di UPT Deket.

"Saat ini dengan berbagai upaya pembangunan infrastruktur Bengawan Njero, pengadaan pompa banjir, usaha memperlancar pembuangan ke laut dengan penggunaan Backhoe Amphibi untuk mempercepat pembersihan eceng gondok, lama genangan dapat dikurangi," ungkapnya.

Di samping itu, lanjut Nalikan, komunikasi dan lobi intens kepada pemerintah pusat juga telah dilakukan sehingga terbitlah Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi di Kawasan Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan, Kawasan Bromo-Tengger-Semeru, serta Kawasan Selingkar Wilis dan Lintas Selatan dimana salah satunya memberikan prioritas pembangunan penuntasan banjir di Bengawan njero, namun karena adanya pandemi, sehingga realisasi pembangunannya tertunda.

"Pemkab Lamongan juga sudah menyalurkan 15 ton bantuan beras secara bertahap kepada masyarakat terdampak banjir. Selain itu, bakti sosial kesehatan gratis juga sudah dibuka di setiap desa terdampak banjir di 6 kecamatan," imbuhnya.

Untuk diketahui, memasuki tahun 2021 ini, banjir terjadi di Lamongan akibat meluapnya anak sungai Bengawan Solo, yaitu Bengawan Njero dan Bengawan Solo. Data terbaru, banjir telah merendam 46 desa di 6 kecamatan di Lamongan, yaitu Kecamatan Turi, Kalitengah, Karangbinangun, Karanggeneng, Glagah dan Deket.

Sumber : https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-5333196/dianggap-tak-becus-tangani-banjir-ini-pembelaan-pemkab-lamongan?_ga=2.201326574.157089458.1610512147-1276086109.1610512147

Share:

Masalah Pertanahan dalam Koridor Ekonomi


Eko Cahyono
Mantan Direktur Eksekutif Sajogyo Institute
Indonesia menjadi salah satu negara yang tak terhindar dari tren kebijakan pembangunan global model "koridor ekonomi"-bentuk kebijakan yang mengutamakan jaringan infrastruktur terintegrasi di sebuah kawasan geografi yang dirancang untuk mendorong pengembangan sumber-sumber ekonomi sebuah negara dan antar-bangsa. Salah satu promotor utamanya adalah Bank Pembangunan Asia, yang dicanangkan sejak 1988.
Debat teoretis gagasan ini bisa ditelusuri hingga ke simpul hulunya: "geografi ekonomi baru" (Krugman, 1991). Teori Krugman, peraih Hadiah Nobel Ekonomi pada 2008, dipandang mampu menggabungkan perdagangan internasional dan geografi ekonomi yang sering dianggap sebagai sub-disiplin ilmu yang terpisah.
Mantra suci koridor ekonomi adalah saling keterhubungan (interconnecting) dan saling terintegrasi (integrating) dengan meletakkan infrastruktur sebagai panglimanya. Namun kedua mantra itu bisa tidak manjur jika masih ada "sumbatan leher botol" yang belum dihilangkan, yaitu semua rumpun regulasi dan kebijakan yang menghambat investasi.
Koridor ekonomi beroperasi melalui tiga cara. Pertama, menggambar ulang peta dunia, lalu melengkapinya dengan beragam kebutuhan proyek-proyek infrastruktur pembangunan, dari jalur transportasi baru, kawasan kota-kota industri baru, hingga kawasan ekonomi khusus.
Kedua, kategorisasi "kelas" negara industri. Melalui analisis ilmiah tertentu, disusunlah kategori kelas negara-negara di dunia menuju tingkatan tangga pembangunan yang diidealkan para konsultan perancang pembangunan. Merujuk pada dokumen "New Development Strategies for ASEAN and East Asia and Quality of Infrastructure" (ERIA CDP, 2018), Indonesia dikategorikan (masih) di anak tangga under development before industrialization. Inilah basis rasionalisasi kehadiran proyek pembangunan, yakni untuk menaikkan negeri ini ke anak tangga kelas negara industri yang lebih tinggi.
Ketiga, paket kebijakan nasional untuk mengintegrasikan semua instrumen kebijakan, regulasi, dan keuangan. Contohnya, Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), jalan tempuh (blueprint) kebijakan pembangunan nasional 2011-2025.
Hasil studi Sajogyo Institute (2014-2015) atas praktik kebijakan MP3EI secara ringkas menunjukkan sejumlah hal. Pertama, asumsi utama penyebab ekonomi Indonesia tertinggal adalah produksi sumber-sumber ekonomi nasional yang tersebar di banyak pulau belum terkoneksi dan terintegrasi secara nasional karena belum ada atau buruknya kualitas infrastruktur (darat, laut, dan udara). Maka, peta Indonesia habis dibagi menjadi enam koridor ekonomi. Dibuatlah peta baru penghubung antar-koridor dengan menegaskan infrastruktur sebagai jawabannya. Sayangnya, hal ini mengabaikan akar masalah ketimpangan dan ketidakadilan struktur agraria (kepemilikan, penguasaan, distribusi, dan akses) atas sumber-sumber agraria nasional. Jadi, pembangunan infrastruktur ini lebih melayani kebutuhannya siapa ketika sumber ekonomi perkebunan, pertambangan, kehutanan, perikanan, kelautan, dan pertanian lebih banyak dikuasai industri serta korporasi besar dan transnasional.
Kedua, proyek MP3EI memperburuk krisis sosial-ekologis dan konflik agraria di setiap koridornya. Bukan semata karena politik "percepatan" pembangunan infrastruktur yang kerap menabrak hak dan ruang hidup masyarakat lokal, adat, atau tempatan, kehadiran infrastruktur, pada banyak kasus, justru memicu pengerukan dan ekstraksi sumber daya alam yang lebih cepat dan mudah. Ketiga, dalam daftar panjang ragam aturan dan regulasi sebagai "sumbatan leher botol" MP3EI, pertanahan dan agraria termasuk kategori prioritas masalah karena akan menghambat investasi pendukung infrastruktur (Sajogyo Institute, 2014).
Maka, hadirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan yang sedang diperdebatkan banyak pihak belakangan ini tidak bisa dibaca sebagai satu kebijakan yang berdiri sendiri. Sangat mungkin RUU itu merupakan bagian dari "paket kebijakan" lain yang terhubung dan terintegrasi satu dengan lainnya, seperti tujuan percepatan kebijakan Mega Infrastruktur, Kawasan Strategis Pariwisata Nasional; kawasan ekonomi khusus; kawasan mega industri; pengembangan properti dan pertumbuhan kota-kota baru; dan perluasan korporasi perkebunan, pertambangan, yang membutuhkan kemudahan dan kepastian soal lahan.
Untuk tujuan proyek pembangunan semacam ini, persoalan pertanahan dan agraria jelas menjadi "sumbatan leher botol". Prinsipnya, jika tak bisa dihilangkan, minimal "dilunakkan atau dibelokkan" dari mandat utamanya. Jadi, wajar jika dokumen RUU Pertanahan memuat agenda bank tanah serta kemudahan bagi investor, pemodal besar, dan pemilik hak guna usaha tapi mengabaikan ketimpangan dan konflik agraria struktural, mengabaikan hak ulayat, menjauh dan bertentangan dengan semangat Undang-Undang Pokok Agraria 1960 yang memandatkan reforma agraria sejati, dan seterusnya. (Koalisi Akademisi dan Masyarakat Sipil, 2019).
Jika pendulum tujuan akhirnya lebih kuat ke agenda "kontra" keadilan agraria dan kedaulatan rakyat atas ruang hidupnya, akan lebih baik jika RUU Pertanahan itu dibatalkan dari sekarang.
Share:

Pertumbuhan Ekonomi 2018 Terbaik Sejak 2014


TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pusat Statistik menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan pada 2018 adalah sebesar 5,17 persen atau terbaik sejak lima tahun terakhir.
"Ini tren yang bagus, terbaik sejak 2014," ujar Kepala BPS Suhariyanto di Kantor BPS, Rabu, 6 Februari 2019.
Bila melihat tren sejak 2014, angka tersebut memang terbesar. Pada 2014, pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah 5,01 persen, atau lebih rendah daripada 2013 yang sebesar 5,56 persen.
Angka pada 2014 bahkan sempat anjlok setahun setelahnya ke level 4,88 persen pada 2015. Setelah itu, tren pertumbuhan ekonomi Indonesia terus membaik menuju 5,03 persen pada 2016 dan 5,07 persen.
Tren pertumbuhan ekonomi terus membaik setelah menjejak 5,07 persen pada 2017 dan mencapai 5,17 persen pada 2018. "Dalam kondisi global yang tidak tentu arah dan harga komoditas yang fluktuatif, ini menggembirakan," ujar Suhariyanto.
Ia berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang lebih baik untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tersebut.
Adapun pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV 2018 adalah 5,18 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada setahun sebelumnya. Sementara dibandingkan triwulan III 2019 pertumbuhannya -1,69 persen. "Memang pattern-nya selalu begitu untuk triwulanan."
Kendati pertumbuhan ekonomi mencapai 5,17 persen atau yang terbaik sejak 2014, nilai tersebut masih belum mencapai target. Pada APBN 2018, Indonesia mencanangkan asumsi dasar ekonomi berupa pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen.
Jika dilihat dari komponen pengeluaran, pertumbuhan ekonomi sepanjang 2018 menunjukkan kontribusi ekspor sebagai sumber pertumbuhan ekonomi yang negatif 0,99 persen. Namun jika dilihat dari pertumbuhan secara kumulatif pada 2018 dibandingkan 2017, maka ekspor tumbuh 6,48 persen.
Meski tumbuh, angka ekspor itu lebih rendah dibanding pertumbuhan impor yang melesat 12,04 persen. "Ekspor yang negatif ini menjadi faktor penurun dari laju pertumbuhan ekonomi," kata Suhariyanto.
Sementara ekonomi Indonesia pada 2018 paling banyak disokong konsumsi rumah tangga sebesar 2,74 persen. Adapun konsumsi rumah tangga telah pulih dan tumbuh sesuai trennya di 5,05 persen secara kumulatif pada 2018.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 sebesar 5,17 persen mendapat apresiasi dari berbagai pihak. "Pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian growth 5,17 persen yang pasti mendapat apresiasi dari berbagai negara mitra, ketika dalam proses pembicaraan pembukaan yang mereka sampaikan yakni apresiasi," kata Enggartiasto.
Dengan capaian tersebut, Mendag menyatakan optimistis bahwa Indonesia mampu mencapai target pertumbuhan di 2019, yakni 5,3 persen.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution berujar pemerintah bakal bekerja keras untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 2019, yaitu 5,3 persen. "Ekonomi dunia sedang tidak berfungsi dengan baik, apalagi ekspor kita," ujar Darmin.
Share:

Paradoks Ekonomi Pemberantasan Narkotik


Muhammad Hatta
Dokter Balai Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Baddoka Makassar
Survei penyalahgunaan narkotik yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) pada 2017 menyatakan 3,3 juta penduduk Indonesia aktif memakai narkotik. Sepanjang 2018, BNN juga telah mengungkap 914 kasus penyalahgunaan narkotik dengan 1.355 tersangka. Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih menjadi wilayah sasaran jaringan peredaran narkotik internasional karena permintaan pasar yang amat tinggi.
Namun upaya pemberantasan melalui penangkapan dan pelarangan tersebut juga memunculkan sisi kelam yang disebut sebagai paradoks narkotik. Paradoks tersebut sangat mengkhawatirkan karena memperbesar masalah narkotik yang berwujud sebagai beban sosial-ekonomi yang kompleks (Marks, 2011). Tindakan pemberantasan juga mengakibatkan munculnya masalah ekonomi, yang disebut sebagai hydra effect, yaitu diversifikasi disertai intensifikasi jenis dan jumlah produk narkotik jika suatu produk tertentu diberangus (Tree, 2014).
Mounteney et al (2017) mengurai dua ciri khas paradoks pemberantasan narkotik. Pertama, globalisasi pasar methamphetamine (MDMA) melalui ekstensifikasi tempat-tempat produksi dan pemasaran masif lewat dunia maya. Sebuah laporan menyebutkan bahwa selain di Eropa Barat, MDMA mulai diproduksi secara ilegal di Kanada, Amerika Serikat, dan Cina dalam beberapa tahun terakhir (UNODC, 2015). Laporan lain menyebutkan MDMA menguasai 25 persen darknet (pasar gelap via Internet) dan merupakan produk kedua setelah mariyuana (ganja) yang paling laris (Ciancaglini et al, 2015). MDMA yang diperdagangkan via Internet tersebut sangat berbahaya karena memiliki kandungan yang lebih besar ketimbang produk MDMA yang diperdagangkan secara konvensional (Winstock, 2015).
Kedua, inovasi produsen dengan mengganti prekursor dan konten narkotik dengan kadar dan bahan baku yang lebih tinggi. Hal ini terbukti dengan ditemukannya bahan pentylone dan caffeine oleh Laboratorium BNN dari barang bukti jaringan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Langkat, Sumatera Utara. Bahan tersebut, khususnya pentylone, merupakan prekursor yang betul-betul baru masuk dan beredar di Indonesia.
Global Drug Survey 2015 menegaskan fenomena tersebut seraya menambahkan bahwa kadar dan kandungan yang diubah dapat berbeda di tiap negara. Di Belanda, kadar MDMA dalam blue ice, yang semula sebesar 50-80 miligram pada 2000-an, kini meningkat menjadi sekitar 300 miligram per tablet. Di Prancis, kadar tersebut juga melonjak, dari 204 miligram pada 2009 menjadi 325 miligram pada 2014 (EMCDDA, 2016).
Di hilir, paradoks narkotik bermuara pada kelebihan kapasitas penjara kita. Penjara yang total kapasitasnya 124 ribu orang telah disesaki oleh 248.516 narapidana, yang hampir setengahnya merupakan kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkotik (Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2019). Tak mengherankan jika 90 persen peredaran narkotik nasional dikendalikan dari dalam bui. Ironisnya, pemerintah berencana memindahkan 45 ribu napi narkotik ke pusat-pusat rehabilitasi tapi hanya mampu merehabilitasi 15-18 ribu per tahun (BNN, 2018).
Sebelum memindahkan napi narkotika, pemerintah harus mempermudah dan memperbanyak akses terhadap fasilitas rehabilitasi. Kewenangan rehabilitasi masih tumpang-tindih antara BNN, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Sosial. Borok tersebut terkuak dalam sebuah kajian Ombudsman pada 2017. Ombudsman merekomendasikan agar instansi-instansi tersebut melenyapkan ego sektoral dan bersatu-padu memberikan layanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Keran aturan yang mengalirkan kasus yang berkaitan dengan narkotik ke dalam penjara mesti direvisi. Riset Institute for Criminal Justice Reform di Pengadilan Negeri Surabaya pada 2016 mengungkap 61 persen kasus yang berkaitan dengan narkotik diarahkan ke penjara akibat ketidakjelasan status bandar dan pengguna. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak/Kewajiban Warga Binaan Pemasyarakatan pun mesti direvisi untuk mengurangi kelebihan warga binaan penjara.
Revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjadi pilar utama pembendung paradoks ekonomi pemberantasan narkotik, terutama dalam penggolongan jenis narkotik. Selama ini, pihak berwenang untuk itu hanyalah Kementerian Kesehatan (Pasal 6), padahal ada banyak jenis narkotik baru (new psychoactive substances) yang juga ditemukan oleh Laboratorium BNN serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Pada 2018 saja, dari 739 narkotik baru yang dilaporkan World Drug Report 2018, BNN baru mengidentifikasi 74 jenis yang telah beredar di Indonesia. Dari jumlah tersebut, delapan jenis belum tercantum dalam aturan penggolongan terbaru Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 50 Tahun 2018 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. Sebagai langkah antisipasi, kewenangan penggolongan tersebut idealnya dibagi di antara tiga instansi pelat merah yang disebutkan sebelumnya.
Pada akhirnya, revisi aturan ihwal narkotik dan dukungan masyarakat luas secara terpadu menjadi kunci untuk membendung efek kelam paradoks pemberantasan narkotik.
Share:

Andalkan SDA, Pertumbuhan Ekonomi Papua Minus 10,44 Persen


TEMPO.COJakarta - Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat  pertumbuhan ekonomi Papua pada kuartal I 2019 minus 10,44 persen. Dari pertumbuhan ini, Papua berkontribusi sebesar 2,19 persen pada Produk Domestik Bruto (PDB). 
Pertumbuhan minus yang dialami Papua ini, kata Kepala BPS Suhariyanto, terkait dengan struktur perekonomian di sana yang masih mengandalkan sumber daya alam (SDA).  "Karena dari strukturnya di Papua dipengaruhi sektor pertambangan dan penggalian masih besar sekali di Papua," kata dia di kantornya, Jakarta, 6 Mei 2019.
 
Menurut Suhariyanto, ketergantungan yang amat besar pada SDA itu perlu digeser atau dikurangi. Sebab, saat inipun semua negara ingin tidak tergantung pada sumber daya alam, karena suatu saat pasti akan habis.
 
"Presiden sangat berharap suatu saat sumber pertumbuhan ekonomi baru itu adalah energi terbarukan, baik itu ekonomi kreatif ataupun pariwisata. Namun, untuk pergeseran butuh waktu lama," ujar Suhariyanto.
 
Sebelumnya BPS mencatat kontribusi empat pulau besar terhadap perekonomian nasional. Pulau Jawa merupakan pulau yang paling dominan, dengan  kontribusi terhadap PDB sebesar 59,03 persen. Pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa pada semester I 2019 sebesar 5,66 persen.
 
Pulau kedua yang memberikan kontribusi pada PDB terbesar adalah Sumatera, yang sebesar 21,36 persen. Pertumbuhan ekonomi Sumatera sebesar 4,55 persen.
 
Pada posisi ketiga, kata Suhariyanto, adalah Pulau Kalimantan yang berkontribusi pada PDB sebesar 8,26 persen. Pada kuartal I ini, BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Kalimantan sebesar 5,33 persen.
 
Pulau dengan kontribusi terbesar keempat terhadap PDB adalah Sulawesi sebesar 6,14 persen. Pulau ini sekaligus tercatat memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi dari pulau-pulau di seluruh Indonesia, yang sebesar 6,51 persen. Untuk Pulau Bali dan Nusa Tenggara, BPS mencatat kontribusi terhadap PDB sebesar 3,02 persen dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 4,64 persen.

Share:

Recent Posts