Paradoks Ekonomi Pemberantasan Narkotik


Muhammad Hatta
Dokter Balai Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Baddoka Makassar
Survei penyalahgunaan narkotik yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) pada 2017 menyatakan 3,3 juta penduduk Indonesia aktif memakai narkotik. Sepanjang 2018, BNN juga telah mengungkap 914 kasus penyalahgunaan narkotik dengan 1.355 tersangka. Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih menjadi wilayah sasaran jaringan peredaran narkotik internasional karena permintaan pasar yang amat tinggi.
Namun upaya pemberantasan melalui penangkapan dan pelarangan tersebut juga memunculkan sisi kelam yang disebut sebagai paradoks narkotik. Paradoks tersebut sangat mengkhawatirkan karena memperbesar masalah narkotik yang berwujud sebagai beban sosial-ekonomi yang kompleks (Marks, 2011). Tindakan pemberantasan juga mengakibatkan munculnya masalah ekonomi, yang disebut sebagai hydra effect, yaitu diversifikasi disertai intensifikasi jenis dan jumlah produk narkotik jika suatu produk tertentu diberangus (Tree, 2014).
Mounteney et al (2017) mengurai dua ciri khas paradoks pemberantasan narkotik. Pertama, globalisasi pasar methamphetamine (MDMA) melalui ekstensifikasi tempat-tempat produksi dan pemasaran masif lewat dunia maya. Sebuah laporan menyebutkan bahwa selain di Eropa Barat, MDMA mulai diproduksi secara ilegal di Kanada, Amerika Serikat, dan Cina dalam beberapa tahun terakhir (UNODC, 2015). Laporan lain menyebutkan MDMA menguasai 25 persen darknet (pasar gelap via Internet) dan merupakan produk kedua setelah mariyuana (ganja) yang paling laris (Ciancaglini et al, 2015). MDMA yang diperdagangkan via Internet tersebut sangat berbahaya karena memiliki kandungan yang lebih besar ketimbang produk MDMA yang diperdagangkan secara konvensional (Winstock, 2015).
Kedua, inovasi produsen dengan mengganti prekursor dan konten narkotik dengan kadar dan bahan baku yang lebih tinggi. Hal ini terbukti dengan ditemukannya bahan pentylone dan caffeine oleh Laboratorium BNN dari barang bukti jaringan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Langkat, Sumatera Utara. Bahan tersebut, khususnya pentylone, merupakan prekursor yang betul-betul baru masuk dan beredar di Indonesia.
Global Drug Survey 2015 menegaskan fenomena tersebut seraya menambahkan bahwa kadar dan kandungan yang diubah dapat berbeda di tiap negara. Di Belanda, kadar MDMA dalam blue ice, yang semula sebesar 50-80 miligram pada 2000-an, kini meningkat menjadi sekitar 300 miligram per tablet. Di Prancis, kadar tersebut juga melonjak, dari 204 miligram pada 2009 menjadi 325 miligram pada 2014 (EMCDDA, 2016).
Di hilir, paradoks narkotik bermuara pada kelebihan kapasitas penjara kita. Penjara yang total kapasitasnya 124 ribu orang telah disesaki oleh 248.516 narapidana, yang hampir setengahnya merupakan kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkotik (Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2019). Tak mengherankan jika 90 persen peredaran narkotik nasional dikendalikan dari dalam bui. Ironisnya, pemerintah berencana memindahkan 45 ribu napi narkotik ke pusat-pusat rehabilitasi tapi hanya mampu merehabilitasi 15-18 ribu per tahun (BNN, 2018).
Sebelum memindahkan napi narkotika, pemerintah harus mempermudah dan memperbanyak akses terhadap fasilitas rehabilitasi. Kewenangan rehabilitasi masih tumpang-tindih antara BNN, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Sosial. Borok tersebut terkuak dalam sebuah kajian Ombudsman pada 2017. Ombudsman merekomendasikan agar instansi-instansi tersebut melenyapkan ego sektoral dan bersatu-padu memberikan layanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Keran aturan yang mengalirkan kasus yang berkaitan dengan narkotik ke dalam penjara mesti direvisi. Riset Institute for Criminal Justice Reform di Pengadilan Negeri Surabaya pada 2016 mengungkap 61 persen kasus yang berkaitan dengan narkotik diarahkan ke penjara akibat ketidakjelasan status bandar dan pengguna. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak/Kewajiban Warga Binaan Pemasyarakatan pun mesti direvisi untuk mengurangi kelebihan warga binaan penjara.
Revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjadi pilar utama pembendung paradoks ekonomi pemberantasan narkotik, terutama dalam penggolongan jenis narkotik. Selama ini, pihak berwenang untuk itu hanyalah Kementerian Kesehatan (Pasal 6), padahal ada banyak jenis narkotik baru (new psychoactive substances) yang juga ditemukan oleh Laboratorium BNN serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Pada 2018 saja, dari 739 narkotik baru yang dilaporkan World Drug Report 2018, BNN baru mengidentifikasi 74 jenis yang telah beredar di Indonesia. Dari jumlah tersebut, delapan jenis belum tercantum dalam aturan penggolongan terbaru Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 50 Tahun 2018 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. Sebagai langkah antisipasi, kewenangan penggolongan tersebut idealnya dibagi di antara tiga instansi pelat merah yang disebutkan sebelumnya.
Pada akhirnya, revisi aturan ihwal narkotik dan dukungan masyarakat luas secara terpadu menjadi kunci untuk membendung efek kelam paradoks pemberantasan narkotik.
Share:

Recent Posts